PACITAN Pagomex – Dalam rangka memperkuat peran guru dalam pelestarian budaya dan peningkatan literasi siswa, Rumpun Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Negeri Surabaya (UNESA) menggelar Program Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) bertajuk Pelatihan Prop Swop Folktales: Metode Mendongeng Kearifan Lokal. Kegiatan ini diselenggarakan sebagai bentuk sinergi antara dunia akademik dan praktisi pendidikan di daerah, khususnya melalui kerja sama antara Prodi PGSD UNESA dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.(26/7/25).
Kegiatan ini dilaksanakan secara luring dengan melibatkan puluhan guru Sekolah Dasar dari berbagai kecamatan di Kabupaten Pacitan. Tim dosen pelaksana terdiri dari Dr. Eva Amalia, M.Pd, Maryam Isnaini Damayanti, M.Pd, dan Zulfin Rachma Mufidah, M.Pd, para akademisi yang memiliki rekam jejak panjang dalam pengembangan literasi, pendidikan karakter, dan pelestarian budaya melalui pendekatan bahasa dan sastra anak.
Metode Prop Swop Folktales yang diperkenalkan dalam pelatihan ini merupakan strategi mendongeng inovatif yang menggabungkan penggunaan alat bantu visual (prop) yang dapat ditukar (swap) secara fleksibel. Metode ini tidak hanya mendukung daya tarik visual dalam bercerita, tetapi juga memungkinkan guru mengadaptasi cerita rakyat sesuai konteks lokal atau nilai-nilai yang ingin ditanamkan.
Dr. Eva Amalia menyampaikan bahwa kegiatan ini berangkat dari kepedulian terhadap minimnya penggunaan cerita rakyat dalam proses pembelajaran di sekolah dasar.
“Cerita rakyat adalah sumber kearifan lokal yang sangat kaya.Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan kurikulum, banyak guru mulai meninggalkan metode bercerita yang justru sangat bermanfaat dalam membangun karakter siswa,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa dengan metode Prop Swop, guru dapat mengemas cerita rakyat secara lebih interaktif, menarik, dan sesuai dengan dunia anak.
“Anak-anak usia sekolah dasar memiliki imajinasi yang sangat kuat. Mendongeng dengan alat bantu yang tepat dapat memfasilitasi pembelajaran yang menyenangkan, sekaligus menyisipkan nilai-nilai luhur budaya bangsa,” tambahnya.
Sementara itu, Zulfin Rachma Mufidah, M.Pd menekankan bahwa pelatihan ini juga bertujuan untuk memberdayakan guru dalam membentuk generasi muda yang berakar pada budaya lokal. Menurutnya, pendidikan tidak hanya soal akademik, tetapi juga pembentukan identitas, karakter, dan jati diri siswa.
“Melalui cerita rakyat, kita bisa menanamkan nilai-nilai penting seperti gotong royong, kejujuran, keberanian, dan kecintaan terhadap alam dan sesame. Selain mengenalkan teknik mendongeng, pelatihan ini juga membekali peserta dengan keterampilan memilih dan mengadaptasi cerita rakyat dari daerah masing-masing agar lebih relevan dengan kondisi saat ini”.
“Kami mendorong guru untuk menggali cerita lokal dari Pacitan dan sekitarnya, lalu mengemasnya kembali dengan bahasa anak dan visualisasi menarik. Dengan begitu, anak-anak tidak hanya mendengar cerita, tetapi benar-benar merasa terhubung dengan budaya mereka sendiri”.
Selama kegiatan berlangsung, para peserta mendapatkan materi tentang dasar-dasar mendongeng, teknik vokal dan ekspresi dalam bercerita, serta praktik langsung pembuatan alat bantu sederhana dari bahan daur ulang.
Kegiatan berlangsung secara interaktif, di mana peserta diajak untuk mempraktikkan cerita rakyat khas Pacitan, seperti legenda Kebo Iwo, Kethek Ogleng, Gunung Lanang dan Watu Bale, serta kisah-kisah rakyat dari desa-desa setempat yang belum terdokumentasikan secara luas.
Pelatihan ini juga menjadi ruang refleksi bagi para guru bahwa pendekatan pendidikan berbasis budaya lokal adalah salah satu strategi penting dalam menghadapi tantangan globalisasi dan krisis identitas budaya di kalangan generasi muda.
Dengan memperkenalkan cerita rakyat sejak dini, anak-anak tidak hanya memperoleh hiburan dan pelajaran moral, tetapi juga tumbuh sebagai individu yang mengenal, mencintai, dan bangga terhadap budayanya sendiri.
Melalui program PKM ini, para dosen PGSD UNESA berharap agar pelatihan semacam ini dapat terus dilanjutkan secara berkelanjutan dan diperluas ke wilayah lain, sebagai bentuk kontribusi nyata perguruan tinggi dalam membangun pendidikan dasar yang berakar pada nilai-nilai lokal dan nasional.
(redaksi)